Jumat, 13 Maret 2009

Rohaniah

Tazkiyatun Al Fikr

Sabtu, 14 Maret 2009

Oleh: Joni Hendri, S.Pd MSi.

Semakin beratnya beban hidup membuat banyak orang meresign kembali pola hidup ke arah religius. Orientasi selama ini yang materialistik, menimbang segala sesuatu berdasarkan keuntungan lahiriah dan uang, tak mampu mengobati kegersangan hati. Desakan ekonomi menyita waktu dan energi, sehingga kebutuhan rohani cendrung terabaikan.

Kesadaran akan spiritualitas yang hilang telah menyentakkan jiwa manusia untuk beralih memberikan porsi yang lebih besar tarbiyah dan tazkiyah (penyucian) hati. Akhir-akhir ini kita lihat berbagai kalangan baik itu pegawai, buruh, mahasiswa, dosen, sampai eksekutif dan kaum elite mulai membangun diri, melakukan ritual mensucikan jiwa demi meraih ketenangan hati. Secara sistematis fenomena ini dikelola secara baik oleh beberapa ustadz yang konsen dengan tazkiyatun nafs. Ada ESQ, Manajemen Qalbu (MQ), Majelis Dzikir, dan Heart Intelegence (HI).
Belakangan, pelatihan penyucian jiwa ini telah menjadi tren masyarakat kita. Larisnya event-event penyejuk qalbu ini, ditandai dengan antusias masyarakat mengikutinya, meskipun harus merogoh kocek lumayan besar. Selepas mengikungi training penyucian jiwa itu, memang ada perasaan lapang, dan kedekatan dengan Tuhan. Namun, melihat kondisi umat Islam yang terpuruk saat ini oleh serangan pluralisme, kemiskinan, tercerai berai dalam kelompok-kelompok, keterbelakangan, lemahnya kekuasaan, virus-virus penyamaan semua agama, dan hilangnya standar kebaikan, terbesit sebuah pertanyaan besar. Apakah bisa meraih kejayaan Islam hanya dengan solusi memperbaiki hati?
Menurut penulis, ada hal yang lebih penting dan perlu mendapat perhatian serius. Maraknya aliran-aliran sempalan dalam Islam yang berhasil mempengaruhi banyak orang, kebinggungan umat ketika menghadapi tesis kesamaan agama yang menghilangkan semangat wala’ dan bara’ (benci dan cinta terhadap pemeluk agama non Islam), hilangnya patokan nilai dalam keseharian masyarakat sehingga kemaksiatan dianggap sebagai hal yang lumrah, merupakan indikasi lemahnya kekuatan fikir umat Islam.
Term agama menyitir kondisi ini dengan sebutan dinamisasi negatif “minan nur iladz dzulmat”. Dalam kajian filosofis, fenomena ini mencerminkan kondisi krisis epistemologis (kaburnya pengetahuan). Epistemologi adalah salah satu cabang utama filsafat yang membahas tentang bagaimana manusia dapat memperoleh pengetahuan yang benar. Berdasarkan pendekatan ini penulis akan menyampaikan bagaimanakah langkah-langkah yang mesti ditempuh dalam tazkiyatun al-fikr.
Pertama, cek dan ricek sumber informasi. Ibaratkan komputer, akal manusia merupakan tempat penyimpanan berbagai macam data. Informasi yang direkam oleh otak bisa berasal dari apa yang dilihat, didengar, dan dibaca, baik itu dari ucapan seseorang, pengalaman, pengakuan, kesaksian, kabar, berita, atau dari media. Menurut para ulama, informasi dapat dikategorikan menjadi tiga, yang sudah pasti benar (al-maqthu’ bi shidqihi), yang sudah pasti dusta/palsu/salah (al-maqthu’ bi-kidzbihi), dan yang tidak dapat dipastikan benar atau salahnya (mala yuqtha’ bi-shidqihi wa la kidzbihi). Segala hal yang masuk ke otak akan diproses dan disimpan dalam file-file memori. Kumpulan informasi tersebut membentuk pengetahuan alam bawah sadar. Menurut Sigmund Freud, tokoh Psikologi terkemuka berkebangsaan Jerman, sebagian besar perilaku manusia didorong oleh pikiran alam bawah sadar ini.
Ketika kita tidak selektif menerima berita maka, akan menjadi bumerang bagi stabilisasi alam bawah sadar (keyakinan, standar nilai, dan nurani). Kita mesti bisa membedakan mana kabar bohong, sekedar gosip, dan mana yang sahih. Salah-salah memilah, implikasinya sangat fatal bagi akal, karena ambiguisitas dalam hal ini akan membawa pikiran bervirus sehingga timbul kebinggungan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemudian langkah kedua yang mesti dilakukan untuk tazkiyatun al-fikr adalah memahami konsep dengan benar. Informasi yang diperoleh seseorang dapat berupa ide, dan ada yang telah berbentuk pernyataan.
Untuk mengetahui kebenaran suatu konsep atau pernyataan, bisa memakai prinsip-prinsip logika. Misalnya, ada pernyataan dalam Al Qur’an, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa sallam adalah Nabi Terakhir. Maka logika yang muncul atas pernyataan ini adalah siapapun yang mengaku sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad berarti ia telah melakukan klaim yang tertolak. Contoh yang lain, ungkapan “Semua agama itu benar, karena sama-sama mengajarkan kebaikan. Banyaknya agama tak lebih sekedar perbedaan manusia dalam memahami kebenaran Tuhan. Tentunya ungkapan ini akan lebur jika kita masukan dalam kriteria logika principium identity, “Dua hal yang berbeda tidak bisa benar keduanya atau salah keduanya. Pasti ada salah satu yang benar.”
Kemajuan yang dicapai oleh Barat lewat pengetahuan dan teknologi memang ditunjang oleh sikap mereka meremehkan dan meninggalkan agama (Kristen). Agama dianggap sebagai belenggu bagi berkembangnya kreatifitas manusia. Barat telah berhasil menguasai dunia dengan semangat mereka mempelajari ilmu. Namun, mereka gamang merancang sistem sosial karena individu terlalu bebas, dan kehilangan moralitas.
Sebagai umat yang dimuliakan oleh Allah atas umat-umat lainnya, kita lebih layak memperoleh kejayaan dan kemakmuran. Dengan iman, ilmu, dan amal seharusnya umat Islam berada di garis terdepan. Menjadi trendsetter bukan malah tercecer dalam pergaulan global. Kenyataan menunjukkan bahwa umat Islam hingga hari ini masih dijajah secara epistemologis oleh Barat. Mindset kita disetting dalam bayang-bayang ideologi Barat, yang mereguk keuntungan atas kejahilan umat Islam.
Oleh karena itu, selain terus memperbaiki hati melalui tazkiyatun nafs, upaya tazkiyatun al-fikr juga mesti dikembangkan. Karena hidup tak cukup dengan dzikir. Menjadi orang baik tentu mulia, tapi menjadi pintar adalah keharusan. Kita hidup di zaman dimana banyak musuh, yakni musuh-musuh serigala berbulu domba, yang menipu umat dengan menukarkan firman-firman Allah demi keuntungan dunia.
Kekalahan dalam bidang apapun, sebenarnya berawal dari lemahnya pikiran. Letak keistimewaan manusia di antara ciptaan Allah lainnya adalah karunia akal pikiran. Dimensi rasionalitas inilah yang melandasi tanggung jawab manusia atas segala tindakannya, karena kekuatan akal telah memberikan barometer internal akan pertimbangan baik dan buruk. Dengan terus menerus meneguk telaga ilmu yang jernih dari Al Qur’an dan Sunnah Sahihah, melepaskan diri dari hegemoni virus pemikiran Barat, dan terus menerus belajar mengeksplorasi alam dengan ilmu dan teknologi, mudah-mudahan Allah berkenan meninggikan derajat kita, sebagaimana yang telah dijanjiNya. (***) Sumber : Mutiara Hikmah

1 komentar:

  1. Wahh,..tambah barek tulisannyo ko... ndak sio-sio tambah barek namonyo..

    BalasHapus